Sabtu, 16 Agustus 2014

STUDI ISLAM DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGI

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam
Dosen Pengampu :
Dr. H. Sudarnoto Abdul Hakim, MA



Oleh :

FIRMANSYAH



  MAGISTER STUDI ISLAM
SEKOLAH PASCA SARJANA
 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JAKARTA
2014



KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala  yang telah memberikan begitu banyak kenikmatan di setiap aktivitas keseharian kita serta kemampuan untuk melaksanakan salah satu kewajiban sebagai seorang mahasiswa yakni membuat sebuah kariya ilmiyah  Studi Islam Dalam Pendekatan Psikologi”.
Salawat serta salam tidak lupa kita khaturkan kepada nabi besar kita yakni Nabi “Muhammad SAW”.
Tidak lupa saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pengampu : Dr. H. Sudarnoto Abdul Hakim, MA. Yang telah banyak memberikan masukan yang sekiranya sudah membuat makalah ini menjadi seperti yang diharapkan.
       saya menyadari bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekeliruan. Untuk itu segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat saya harapkan guna penyempurnaan tugas-tugas makalah yang akan datang. Akhirnya saya mengucapkan selamat membaca, semoga dapat menjadi referensi yang berguna untuk semuanya.


                                                                                                            Jakarta

                        Penulis.




DAFTAR ISI


                    SAMPUL...............................................................................................
                    KATA PENGANTAR.......................................................................... i
                    DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
                    BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 1
a.        Latar Belakang........................................................................... 1
b.       Rumusan Masalah ..................................................................... 2
                    BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM 3
A.    Pengertian Psikologi Dan Studi Islam........................................ 3
B.     Potensi-Potensi Dalam Diri Manusia.......................................... 4
a.       Fitrah..................................................................................... 5
b.      Roh........................................................................................ 5
c.       Qalb....................................................................................... 6
d.      Nafs....................................................................................... 7
e.       Aql........................................................................................ 8
C.     Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam................................... 9
D.    Metode Penelitian Dan Pendekatan Dalam Psikologi............... 13
                     BAB III PENUTUP.......................................................................... 16
A.    Kesimpulan................................................................................ 16
B.     Saran.......................................................................................... 16   
                   DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 17




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
"Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan) Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud".[1]
Dari ayat diatas dapat dikatakan bahwasanya manusia diciptakan dari tanah dan telah melalui proses yang disempurnakan, maka kemudian ditiupkan Ruh dari Tuhannya. Kedua unsur pokok tersebut (tanah dan ruh) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangan al-Qur'an sebagaimana yang dipahami oleh Imam Ghazali.[2] Bahwa manusia memiliki aspek yang secara tegas dapat dibedakan menjadi tiga, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan.
Ketiga aspek tersebut adalah, pertama; aspek Jasad yang merupakan keseluruhan fisik-biologis, sistem sel, kelenjar, dan sistem syaraf (Psikologi Fisiologi). Kedua, aspek Jiwa/psikis-psikologis yang merupakan keseluruhan kualitas insaniah yang khas milik manusia, berupa: pikiran, perasaan, dan kemauan (Psikologi Humanistik). Ketiga, aspek Ruh/spiritual-transendental yang merupakan keseluruhan potensi luhur psikis manusia (Psikologi Transpersonal).[3] Ketiga aspek inilah merupakan pembentuk totalitas manusia.
Dengan demikian, tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada sang Khaliq.[4]  Dan sebagai khalifah dimuka bumi.[5] Tugas yang dibebankan kepada manusia ini tidaklah berlebihan karena ketiga aspek diatas tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebenarnya tugas ini merupakan relasi integral antara alam, manusia, dan Tuhan. Oleh karena itu, relasi ketiga aspek psikologis manusia diatas harus dapat terintegrasikan demi mencapai tujuan penciptaan dan sekaligus sebagai insan al-kamil.
Karena banyaknya bahasan dalam hal psikologi manusia, maka dalam studi Islam ini, penulis menfokuskan bahasan pada aspek Psikis-psikologis atau dalam hal psikologi humanistik, yaitu mencakup dimensi al-Nafs, al-'Aql, dan al-Qalb. Psikologi humanistik memusatkan perhatian pada sisi kualitas kemanusiaan, berupa: pikiran, perasaan, dan kemauan. Paradigma ini adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan kualitas kemanusiaan.[6]
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Psikologi Dan Studi Islam?
2.      Apa Potensi-Potensi Dalam Diri Manusia ?
3.      Bagaimana Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam ?
4.      Metode Penelitian Dan Pendekatan Dalam Psikologi ?


BAB II
PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM

A.    Pengertian Psikologi dan Studi Islam
Psikologi adalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk merujuk bentukan halus dalam diri manusia yang tidak terlihat dan hanya dapat dirasakan. Sesuatu yang tidak tampak itu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam memberikan definisi yang tepat. Secara bahasa, psikologi berasal dari bahasa Inggris Psychology yang berasal dari bahasa Yunani Psyche yang artinya jiwa, dan logos yang berarti ilmu pengetahuan.[7] Jadi, psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya  maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut ilmu jiwa.[8]
Karena beragamnya para ahli dalam mendefinisikan pengertian psikologi, maka penulis hanya mengutip dua pakar yang mewakili dalam pendefinisian psikologi. Menurut Plato dan Aristotes  bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Sedangkan menurut Morgan, C.T. King bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.[9] Berbeda halnya dalam khazanah keilmuan Islam bahwa psikologi tidak semata sebagai ilmu yang membahas perilaku sebagai fenomena kejiwaan belaka melainkan dibahas dalam konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah.
Sedangkan studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya.  Dimaklumi  bahwa Islam sebagai agama dan  sistem ajaran telah  menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam  ruang budaya yang beragam. Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis terhadap teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendektan tertentu, seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf, historis, antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik dianggap ilmiah.
Dengan pendekatan ini kajian tidak disengajakan untuk menemukan atau mempertahankan keimanan atas kebenaran suatu konsep atau ajaran tertentu, melainkan mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang  di dalamnya  untuk ditolak, diterima, maupun dipercaya  kebenarannya. Kajian dengan pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh para orientalis atau islamis yang memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam daru luar) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.[10]
B.     Potensi-potensi Dalam Diri Manusia
Manusia merupakan makhluk yang istimewa dibanding makhluk lainnya, karena disamping memiliki dimensi fisik yang sempurna, ia juga memiliki dimensi roh dengan segala potensinya. Jika potensi jasmani diketahui dari kata basyar, maka untuk mengetahui potensi ruhani dapat dilihat dari kata al-insan. 
Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang memiliki arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak.[11]
Sedangkan Quraish Shihab menganalisis kata insan hanya terambil dari kata uns yang berarti jinak dan harmonis. Menurutnya, pendapat di atas, jika dipandang dari sudut pandang al-Qur.an lebih tepat dari yang mengatakan bahwa kata insan diambil dari kata nasiya (lupa) atau dari kata nasa-yanusu (berguncang). Kata insan juga digunakan al-Qur.an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga.[12]
Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) memiliki potensi seperti fitrah, qalb, nafs, dan akal. Karena potensi itulah manusia menjadi makhluk yang tinggi martabatnya.Dengan demikian potensi ruhani manusia terdiri dari beberapa unsur pokok, yaitu:
a.      Fitrah
Dari segi bahasa fitrah diambil dari kata al-fathr yang berarti belahan dan dari makna ini lahir makna-makna lainnya antara lain penciptaan atau kejadian. Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya.[13] Sedangkan Muhaimin dan Abdul Mujib memberikan penjelasan rinci tentang arti fitrah yaitu; Pertama, Fitrah berarti suci (thur), yang berarti kesucian dalam jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah swt (tauhid). Ketiga, Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi danma'rifatullahKeempat, Fitrah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature).[14]
Dalam pemahaman potensi fitrah inilah al-Ghazali meneliti keistimewaan potensi fitrah yang dimiliki manusia, Pertama, beriman kepada Allah. Kedua, kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran. Ketiga, dorongan ingin tahu untuk mencari hakekat kebenaran yang berwujud daya berfikir. Keempat, dorongan biologis berupa syahwat (sensual pleasure)ghadhab, dan tabiat (insting).
Fitrah merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan berupa kecenderungan kepada tauhid serta kesucian jasmani dan rohaninya, dan dalam Islam diakui bahwa lingkungan berpengaruh dalam perkembangan fitrah menuju kesempurnaan dan kebenaran. Oleh karena itu, potensi yang dimiliki manusia harus dikembangkan dan dilestarikan. Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan rasa al-tauhid walupun masih didalam imateri (alam ruh)
b.      Roh
Roh merupakan kekuatan yang dapat membebaskan diri dari batas-batas materi. Kekuatan jasmani terikat dengan wujud materi dan inderanya, sedangkan kekuatan roh tak satupun materi yang dapat mengikatnya. Ia mempunyai hukum sesuai dengan penciptaan Allah padanya, yakni berhubungan dengan kelanggengan wujud azali. Oleh karena itu Al-Kindi mengindentifikasi roh sebagai sesuatu yang tidak tersusun, simpel, dan sederhana tetapi mempunyai arti yang penting sempurna dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan, hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari.[15]
Dengan demikian, walaupun roh memiliki karakteristik yang halus, abstrak, rahasia dan ghaib, tetapi roh dapat diidentifikasi melalui sifatnya. Roh yang bersifat jasmani merupakan zat yang menentukan hidup dan matinya manusia, sementara roh yang bersifat rohani merupakan substansi manusia yang berasal dari substansi Tuhan, sehingga memiliki potensi untuk berhubungan dengan tuhan atau mengenal Tuhannya.
c.       Qalb
Hati dalam bahasa Arabnya disebut qalb. Menurut ilmu biologi,qalb itu segumpal darah yang terletak di dalam rongga dada, agak ke sebelah kiri, warnanya agak kecoklatan dan berbentuk segitiga. Tetapi yang dimaksud di sini bukanlah hati yang berupa segumpal darah dan bersifat materi itu, melainkan hati yang bersifat immateri. Tentang hati yang bersifat immateri ini, Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengidentifikasikan qalb menjadi rahasia setiap manusia dan merupakan anugerah Allah yang paling mulia.[16]
Dengan demikian, potensi yang dimiliki qalb tergantung kepada karakteristik qalb itu sendiri yang berubah-ubah, sehingga dalam penjelasan selanjutnya tentang potensi qalb ini, Dr. Ahmad Mubarak menguraikan kandungan qalb yang memperkuat potensi-potensi itu. Beliau menyebutkan berbagai kondisi qalb yang berubah-ubah, yaitu penyakit, perasaan takut, getaran, kedamaian, keberanian, cinta dan kasih sayang, kebaikan, iman, kedengkian, kufur, kesesatan, penyesalan, panas hati, keraguan, kemunafikan, dan kesombongan.[17]
d.      Nafs
Dalam konteks rohani manusia, yang dimaksud dengan nafs adalah kondisi kejiwaan setiap manusia yang memiliki potensi berupa kemampuan menggerakkan perbuatan yang baik maupun yang buruk.[18]
Al-Ghazali membagi nafs kepada tiga tingkatan, yaitu:
1.      Nafs tingkatan utama, meliputi; Nafs Mardliyah, yaitu nafs yang cenderung melaksanakan petunjuk, guna memperoleh ridho illahi. Nafs Rodliyah, yaitu nafs yang cenderung kepada sifat ikhlas tanpa pamrih atas aktivitas yang dilakukannya. Nafs Muthmainnah, yaitu nafs yang cenderung kepada keharmonisan dan ketenangan. Nafs Kamilah, yaitunafs yang mengarah kepada pada tingkat kesempurnaan. Nafs Mulhamah, yaitu nafs yang memiliki keutamaan dalam bertindak dan menjauhi perbuatan dengki, rakus dan iri hati.
2.      Nafs Lawwamah, yaitu nafs yang mencerminkan sifat-sifat insaniyah.
3.      Nafs Amarah, yaitu nafs yang mencerminkan sifat-sifat hayawaniyah dan bahamiyah (kehewanan dan kebinatangan).
Dalam ensiklopedi Indonesia, ditampilkan pula ketujuh konsep sebagaimana pendapat Al-Ghazali di atas dengan menggunakan tiga kelompok. Kelompok pertama adalah nafs amarah yang memiliki ciri-ciri dorongan rendah yang bersifat jasmaniah seperti loba, tamak serta cenderung menyakiti hati orang lain. Kelompok kedua adalah nafslawwamah yang memiliki ciri-ciri sudah menerima nilai-nilai kebaikan tetapi masih cenderung kepada dosa, walaupun akhirnya menyesalinya. Kelompok ketiga adalah nafs-nafs yang berciri baik dan luhur, yaitu:mardliyah, kamilah, mulhamah, muthmainnah, dan radliyah, yang cenderung kepada sifat-sifat keutamaan, kesempurnaan, kerelaan, penyerahan kepada tuhan dan mencapai ketenangan jiwa. Walaupun dalam Al-Qur'an hanya ada tiga macam nafs yang disebutkan jelas jenisnya, pertama nafs amarah (Q.S. Yusuf: 53), kedua nafs lawwamah (Q.S. al-Qiyamah: 2) dan nafs muthmainnah (Q.S. Al-Fajr: 27).[19]
Dengan demikian nafs adalah kondisi kejiwaan setiap menusia yang telah diilhamkan Allah kepadanya kebaikan dan keburukan, sehingga nafs memiliki potensi berupa kemampuan untuk menggerakkan perbuatan yang baik dan buruk. Potensi nafs tersebut ditentukan dari kualitas nafs itu sendiri, jika kualitas nafs itu baik, maka nafs memiliki potensi untuk menggerakkan perbuatan baik, sedangkan jika kualitas nafs itu buruk, maka nafs memiliki potensi untuk menggerakkan perbuatan buruk.
e.       Aql
Manusia dibedakan dengan makhluk lainnya karena manusia dikarunia akal dan kehendak-kehendak (iradah). Akal yang dimaksud adalah berupa potensi, bukan anatomi. Akal memungkinkan manusia untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, mengerjakan yang baik dan menghindari yang buruk.[20] Dengan akal manusia dapat memahami, berpikir, belajar, merencanakan berbagai kegiatan besar, serta memecahkan berbagai masalah sehingga akal merupakan daya yang amat dahsyat yang dikaruniakan Allah kepada manusia.
Menurut Ahmad D. Marimba, akal bermanfaat dalam bidang pengumpulan ilmu pengetahuan, memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, dan mencari jalan-jalan yang lebih efisien untuk memenuhi maksud tersebut. Tetapi pada keadaan yang lain, sebaliknya akal dapat pula berpotensi untuk mencari jalan-jalan ke arah perbuatan yang sesat, mencari alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan yang sesat itu, dan menghasilkan kecongkakan dalam diri manusia bahwa akal itu dapat mengetahui segala-galanya.[21]
Pada intinya adalah bahwa Allah memberikan suatu karunia besar dan maha dahsyat bagi manusia, sebuah daya (kekuatan) yang dapat membawa manusia kepada kebaikan dan manfaat, sebaliknya juga dapat merusak dan membawa madharat. Potensi akal yang dimiliki manusia menjadikannya berbeda dengan makhluk lainnya di muka bumi ini.
C.    Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam
Obyek formal telaah psikologi adalah manusia dan obyek materialnya adalah tingkah laku manusia.[22] Keberadaan manusia telah banyak dibahas didalam Al-Qur'an diantaranya adalah tentang sifat-sifat dan potensinya. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dalam bentuk yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya.[23] Kesempurnaan manusia ini dibuktikan dengan pemberian akal yang dapat digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Manusia dianjurkan mencari kebenaran untuk menjalani hidup di dunia dan di akhirat kelak karena secara alamiah manusia mempunyai potensi diri.
Proses aktualisasi potensi itu merupakan pencapaian tujuan akhir pendidikan Islam. Islam dapat dilihat mempunyai dua komponen, yaitu ibadah (aktifitas penyembahan) dan mu'amalah (interaksi dengan sesama manusia).[24] Keduanya terjalin secara erat dan saling berkaitan dalam banyak hal. Interaksi dengan sesama dan keterkaitan atas keduanya yang dipengaruhi oleh perasaan, pikiran dan kemauan yang dimiliki oleh manusia akan menghasilkan pengakuan yaitu pengakuan atas keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai abdillah dan khalifah.
Sedangkan untuk mengaktualisasikan tugas ganda sebagai abdullah dan khalifah maka Allah telah melengkapi manusia dengan sejumlah potensi dalam dirinya. Potensi yang dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab adalah al-Nafs, al-'Aql,dan al-Qalb. Dimensi nafsu memiliki dua daya utama yaitu daya ghadab (marah) dan daya syahwat (senang). Daya ghadab adalah daya untuk menghindari sesuatu yang membahayakan atau hal yang tidak menyenangkan. Sedangkan daya syahwat adalah daya untuk merebut dan mendorong kepada hal-hal yang memberikan kenikmatan.[25]
Sementara dimensi Aql memiliki daya mengetahui dan memahami. Daya mengetahui itu muncul sebagai akibat adaya daya fikir seperti memikirkan, memperhatikan, menginterpretasikan. Sedangkan dimensi Qalb memiliki dua daya yaitu daya memahami dan daya merasakan. Daya memahami pada Qalb (disamping menggunakan daya memahami dan merasakan) memiliki daya persepsi Ruhaniah yang sifatnya menerima, yaitu memahami yang haqq dan ilham/ilmu dari Tuhan. Dengan demikian, jiwa manusia mampu menangkap pengetahuan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan Aql dan Qalb.[26]
Manusia bebas menentukan tingkah lakunya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemauannya, namun pada saat yang bersamaan, manusia juga bertanggung jawab terhadap lingkungan alam, manusia, dan Tuhannya. Tanggung jawabnya terhadap alam adalah untuk melestarikannya, tanggung jawabnya terhadap sesama manusia adalah mensejahterakannya, dan tanggung jawab terhadap Tuhan adalah untuk mencari Ridla-Nya.
Islam sebagai petunjuk tentang ketundukan total kepada Allah dimaksudkan tidak hanya bagi orang-orang tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia. Universalisme Islam ini berarti bahwa semua manusia, baik sesama individu, sesama kelompok, maupun sesama bangsa adalah sama dihadapan Allah. Seseorang atau kelompok tidak dinilai berdasarkan keturunan atau kesempurnaan fisik seseorang tetapi berdasarkan keimanan, kehidupan yang lebih baik, dan perhatiannya kepada kesejahteraan orang lain.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang dalam perkembangan jasmaniah dan ruhaniahnya selalu memerlukan bimbingan dan pengarahan melalui proses pendidikan. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani dalam pengertian bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari psikologis.[27]
Psikologi Islami memandang bahwa manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam, manusia, dan Tuhan. Hubungan manusia dengan alam sangat diperlukan untuk menghargai dan menghormati terhadap ciptaannya sehingga manusia mampu menjaga lingkungan yang baik. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya yaitu menjaga dan melindungi harga dan martabat sebagai manusia, karena manusia diciptakan sama, maka sikap dan tindakan jangan sampai mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Sementara manusia dengan Tuhan tiada lain untuk menciptakan hubungan penghambaan yang baik, karena manusia diciptakan oleh Allah dengan penuh kasih sayang.
Dalam pandangan psikologis humanistik, manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dari aspek kemauan,[28] kebebasan, perasaan, dan pikiran untuk mengungkap makna hidup dengan berdasarkan nilai-nilai ketauhidan sehingga manusia mampu mengembangkan potensi dan kualitas hidup yang Islami.[29] Oleh karena itu, konsep tersebut mengintegrasikan hubungan piramida antara nafs, akal, dan hati ke dalam konteks psikologis manusia dengan berdasarkan pada ajaran-ajaran wahyu. Hubungan konsep psikologis humanistik tersebut, akan melahirkan kreatifitas hidup sebagaimana yang telah dipesankan Tuhan dalam al-Qur'an yaitu semangat untuk berpikir, kemauan berbuat kebaikan dan menciptakan nilai-nilai spritualitas yang tinggi demi kualitas hidup manusia secara universal.
Ketika manusia menghadapi alam semesta yang mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam, maka manusia telah dapat mengetahui adanya Dzat yang maha suci lagi maha segalanya. Untuk mengetahui Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu wahyu turun. Namun, dari pengalaman-pengalaman yang pernah ia alami dan bahkan dapat dirasakan oleh siapa pun, merupakan salah satu cara untuk mengenal Dzat tersebut. Pengalaman-pengalaman batin yang mendalam inilah yang dinamakan ilmu al-hudury.[30]
Semua pengalaman tersebut dapat dirasakan oleh semua manusia, apapun warna kulit dan agamanya, tanpa mengatakan terlebih dahulu siapa dan dari mana asalnya. Kebenaran epistemologi irfani dapat dirasakan secara langsung. Pemisah yang berupa formalitas lahiriyah yang dibuat oleh lingkungan dan tradisi, dikesampingkan oleh berfikir irfani dan menggantikannya dengan nalar epistemologi irfani.
 Dengan demikian, penegasan terhadap kenyataan diri yang sesungguhnya bahwa penguasa segala sesuatu adalah satu, namun tidak semata berarti suatu bilangan. Ke Esaan Allah diluar bilangan, ini untuk menjelaskan atas keistimewaan-Nya. Ke Esaan Allah akan terwujud dalam dunia sekeliling manusia, dalam keharmonisan, keteraturan, dan keindahan ciptaannya tanpa adanya sekat yeng memisahkan.[31]
Pengakuan terhadap Tuhan Esa dapat dirasakan dan dipercayai oleh manusia ketika ia menggunakan olah pikir hati dan dukungan olah pikir akal.Iman berarti keselamatan atau keamanan, dan ini melibatkan pengakuan dihati dan perbuatan anggota badan, yang keduanya diperkuat oleh kemampuan olah pikir. Beriman kepada Allah dalam hal ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa hal itu memberikan kerangka dasar dimana moralitas harus dilaksanakan. Manusia dapat memilih moralitas tanpa agama, namun kondisi ini akan membawa manusia kepada bencana ideologi komunisme. Prinsip-prinsip ajaran tersebut harus dilakukan oleh umat Islam untuk mengembangkan kesadaran spritual untuk meningkatkan kualitas dan potensi hidup secara Islami.
Semangat konsep psikologis humanistik mengisi dan mengembangkan bahkan mengkritik konsep-konsep Barat yang cenderung mengedepankan konsep pemisahan agama dengan ilmu pengetahuan. Simbol yang menyolok dari arogansi manusia ini adalah penyombongan terhadap Titanic yang tenggelam ke dalam lautan Allah pada musim semi (tahun 1912).[32] Salah satu bukti kritikan terhadap Barat tentang perkembangan psikologis yaitu Sigmund Freud dalam teori psikoalisis yang menyatakan bahwa, anatomi tubuh manusia ada tiga kategori yaitu, Id, Ego, dan Super Ego yang tidak dapat dipisahkan.[33] Menurutnya, yang lebih dominan dalam struktur psikis manusia bawah sadar adalah Id dan memandang manusia sebagai makhluk yang sangat ditentukan oleh masa lalunya.
Teori ini dipandang sebagai teori yang menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia. Teori ini hanya menjelaskan adanya kebutuhan manusia yang paling mendasar, yaitu kebutuhan fisiologis. Namun teori ini belum mampu menjelaskan kebutuhan-kebutuhan luhur (mulia) dari diri manusia. Sejalan dengan itu, teori ini juga belum mampu menjelaskan tentang kebutuhan manusia terhadap agama dan adanya dorongan iman sebagai penggerak seseorang untuk bertingkah laku.[34] Manusia tidak dibebaskan begitu saja tanpa adanya pergerakan hati mereka untuk memilih. Setiap manusia dilahirkan sebagai muslim pada saat awal penciptaannya.
Manusia adalah sekumpulan kontradiksi, yaitu diciptakan secara fitrah dalam keadaan beriman tetapi mereka juga memiliki kecenderungan untuk mengikuti nafsu atau keinginan jasmaninya. Keadaan ini justru merupakan kekuatan besar untuk melaksanakan tugas sebagai hamba dan khalifah karena akan mudah menerima ajaran agama yaitu Islam, suatu agama yang sesuai dengan fitrah kejadian manusia, agama yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan, manusia dengan sesamannya dan manusia dengan alam lainnya.
D.    Metode Penelitian Dan Pendekatan Dalam Psikologi
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, maka psikologi juga memiliki metode penelitian dan pendekatan. Adapun metode penelitian dalam psikologi adalah :
           
1. Dokumen pribadi (personal document)

Metode ini digunakan untuk mempelajari tentang bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseorang. Untuk memperoleh informasi mengenai hal dimaksud maka cara yang ditempuh adalah mengumpulkan dokumen pribadi seseorang. Dokumen tersebut mungkin berupa autobiografi, biografi, tulisan ataupun catatan-catatan yang dibuatnya.[35]
Dalam penerapannya metode dokumen pribadi ini dilakukan dengan berbagai cara atau teknik-teknik tertentu. Diantaranya yang banyak digunakan:
·         Teknik Nomothatic, digunakan untuk menarik kesimpulan sejumlah dokumen yang diteliti.
·         Teknik Analisis Nilai (Value Analysis), teknik ini digunakan dengan dukungan analisa statistik. Bagi data yang sudah terkumpul diklasifikasikan menurut teknik statistik lalu dianalisis untuk dijadikan penilaian terhadap individu yang diteliti.
·         Teknik Idiography Approach, teknik ini digunakan sebagai pelengkap dari teknik nomothatic. Hasil penelitian yang didasarkan pada teknik ini adalah berupa kesimpulan yang diperoleh dari penafsiran bebas.
·         Teknik Penilaian Terhadap Sikap (Evaluation Attitudes Technique), teknik ini digunakan dalam penelitian terhadap biografi tulisan, atau dokumen yang ada hubungannya dengan individu yang akan diteliti.[36]

2.      Kuesioner dan Wawancara
Metode kuesioner dan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih banyak lagi dan ditujukan secara langsung kepada responden.[37]
Adapun teknik yang digunakan dalam metode ini untuk mengumpulkan data adalah:
·         Pengumpulan Pendapat Masyarakat (Public Opinion Polls). Teknik ini merupakan gabungan antara kuesioner dan wawancara.
·         Skala Penilaian (Rating Scale), teknik ini digunakan untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok.
·         Tes (Test), tes digunakan dalam upaya untuk mempelajari tingkah laku seseorang dalam kondisi tertentu.
·         Eksprimen
·         Observasi
·         Pendekatan Terhadap Perkembangan (Devolepment Approach), digunakan untuk meneliti asal-usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianutnya.
·         Metode Klinis
·         Studi Kasus.[38]
Ada beberapa macam pendekatan dalam psikologi agama. Antara lain seperti:
1.      Pendekatan Struktural, yaitu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari pengalaman seseorang berdasarkan tingkatan atau kategori tertentu. Struktur pengalaman tersebut dilakukan dengan menggunakan metode pengalaman dan introspeksi. Pendekatan ini dipakai oleh Wilhelm Wundt.
2.      Pendekatan Fungsional, yaitu pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari bagaimana agama dapat berfungsi atau berpengaruh terhadap tingkah laku hidup individu dalam kehidupannya. Pendekatan ini pertama kali dipergunakan oleh William James (1910 M), ia adalah penemu laboratorium psikologi pertama di Amerika pada Universitas Harvard.
3.      Pendekatan Psiko-analisis, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk menjelaskan tentang pengaruh agama dalam kepribadian seseorang dan hubungannya dengan penyakit-penyakit jiwa. Pendekatan ini pertama kali dilakukan oleh Sigmung Freud (1856-1939 M).[39]


BAB II
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya  maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut ilmu jiwa
2.      Studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya.  Dimaklumi  bahwa Islam sebagai agama dan  sistem ajaran telah  menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam  ruang budaya yang beragam
3.      Potensi manusia yang berupa pikiran, perasaan, dan kemauan yang diaktualkan kepada pengakuan tentang ke Esaan Allah bukanlah sebagai argumentasi filosofis melaikan penegasan bahwa manusia memang mengakuinya. Demikianlah mereka mengikuti seruan Allah. Tauhid berarti pengetahuan bahwa Allah sebagai satu-satunya penguasa yang berkuasa atas alam semesta. Pengetahuan ini bukanlah hasil dari kepercayaan tetapi ia adalah dasar kepercayaan. Kesadaran akan tauhid adalah bagian dari pengetahuan yang Allah ciptakan dalam diri setiap manusia pada sifat fitrahnya.
4.      Pencapaian tujuan akhir pendidikan Islam. Islam dapat dilihat mempunyai dua komponen, yaitu ibadah (aktifitas penyembahan) dan mu'amalah (interaksi dengan sesama manusia). Keduanya terjalin secara erat dan saling berkaitan dalam banyak hal. Interaksi dengan sesama dan keterkaitan atas keduanya yang dipengaruhi oleh perasaan, pikiran dan kemauan yang dimiliki oleh manusia akan menghasilkan pengakuan yaitu pengakuan atas keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai abdillah dan khalifah.

B.     SARAN
Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca yang budiman demi kesempurnaan makalah ini, dan makalah-makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Nashori, FuadPotensi-potensi Manusia, Seri Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005.
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005.
______________, Paradigma Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004.
Abdul Rahman Shaleh & Wahab, Muhib AbdulPsikologi Suatu Pengantar, Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005.
Fauzi, Ahmad. Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
http://miftah19.wordpress.com/2014/07/10/ Pendekatan-Studi-Islam-Bag-1

Manzur, IbnLisan al-Arab, Jilid VII, Mesir: Daar al-Mishriyyah, 1968.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-QuranBandung: Mizan, Cet. III,1996.
Muhaimin dan Mujib, Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar OperasionalisasinyaBandung: Tri Genda Karya, Cet. I, 1993.
Nasution, HarunFalsafah dan Mistisisme dalam IslamJakarta: Bulan Bintang, Cet. IX, 1995.
Umary, BarmawieMateri AkhlakSolo: Ramadhani, Cet. I, 1989.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur'anJakarta: Paramadina, Cet.I, 1996.
Langgulung, HasanAsas-asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003.
______________, Pendidikan dan Peradaban IslamJakarta: Pustaka Al Husna, Cet. III, 1985.
______________, Teori-teori Kesehatan Mental, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan IslamBandung: Al Ma.arif, Cet. VIII, 1989.
Ayoub, Mahmoud M. Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual, Refleksi Cendikiawan Muslim Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur Hidayat, Yogyakarta : AK. Group, 2004.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Lahey, Benjamin B., Psychology An Intriduction. New York : Mc Graw Hill, 2003.
Dingagunasa, Singgih, Pengantar Ilmu Psikologi. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1996.
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang, 1979.
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia, 1996.



[1] QS. Al-Hijr, 15 : 29.
[2] Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia, Seri Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005), h. 111.
[3] Senada dengan al-Ghazali, Baharuddin membedakan aspek manusia terdiri dari Jismiah, Nafsiah, dan Ruhaniah. Selengkapnya lihat, Baharuddin,Paradigma Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004), h 160.
[4] QS. Al-Dzariyaat, 51: 56.
[5] QS. Al-Baqarah, 2 : 30.
[6] Manusialah yang menentukan dan berkuasa atas dirinya sendiri dengan dorongan aspek nafs, aql dan qalb. Baharuddin, Paradigmah.114
[7] Abdul Rahman Shaleh & Muhib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar, Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005), h. 1.
[8] Ahmad Fauzi, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 10.
[9] Abdul Rahman Shaleh & Muhib Abdul Wahab, Psikologi, h. 5-6.
[10] http://miftah19.wordpress.com/2014/07/10/ Pendekatan-Studi-Islam-Bag-1
[11] Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Mesir: Daar al-Mishriyyah, Jilid VII, 1968), h. 306-314.
[12] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 278.

[13] M. Quraish Shihab, Wawasan, h. 65.
[14] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Tri Genda Karya, Cet. I, 1993), h. 13-19.

[15] Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IX, 1995), h. 17.
[16] Barmawie Umary, Materi, h. 16.
[17] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran, h.114,
[18] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran, h.50,
[19] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1996), h. 264-265.
[20] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna, Cet. III, 1985), h. 224.
[21] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al Ma.arif, Cet. VIII, 1989), h. 111.
[22]  Baharuddin, Paradigma, h. 287.
[23]  Baharuddin, Paradigma, h. 115.
[24] Mahmoud M. Ayoub, Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual, Refleksi Cendikiawan Muslim Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur Hidayat (Yogyakarta : AK. Group, 2004), h. 125.
[25] Baharuddin, Paradigma, h. 231.
[26] Ibid., h. 233-235.
[27] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 103.
[28] Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992), h. 202.
[29] Baharuddin, Paradigma, h. 306.
[30] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 208.

[31] Mahmoud M. Ayoub, Islam, h. 12-13.
[32] Mahmoud M. Ayoub, Islam: Antara, h. 134.
[33] Hasan Langgulung, Teori-teori, hlm. 313. Lihat juga, Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005), h. 104.
[34] Baharuddin, Aktualisasi, h. 124.
[35] Benjamin B. Lahey, Psychology An Intriduction ( New York : Mc Graw Hill, 2003), h 5
[36] Singgih Dingagunasa, Pengantar Ilmu Psikologi, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1996).h.9
[37] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama ( Jakarta : Bulan Bintang, 1979), h. 12
[38] Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama (Jakarta : Kalam Mulia, 1996 ), h. 6
[39] Zakiah Darajat, (Ilmu Jiwa Agama) h. 13