STUDI ISLAM DALAM PENDEKATAN
PSIKOLOGI
Disusun Sebagai
Tugas Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam
Dosen Pengampu :
Dr. H. Sudarnoto
Abdul Hakim, MA
Oleh :
FIRMANSYAH
MAGISTER STUDI ISLAM
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum
Warahmatullahi Wabarakatu
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan begitu banyak kenikmatan
di setiap aktivitas keseharian kita serta kemampuan untuk melaksanakan salah
satu kewajiban sebagai seorang mahasiswa yakni membuat sebuah kariya ilmiyah “Studi Islam
Dalam Pendekatan Psikologi”.
Salawat serta salam tidak
lupa kita khaturkan kepada nabi besar kita yakni Nabi “Muhammad SAW”.
Tidak lupa saya ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dosen pengampu
: Dr. H. Sudarnoto Abdul Hakim, MA.
Yang telah banyak
memberikan masukan yang sekiranya sudah membuat makalah ini menjadi seperti
yang diharapkan.
saya menyadari bahwa
makalah yang saya buat
ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekeliruan. Untuk itu
segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat saya harapkan guna
penyempurnaan tugas-tugas makalah yang akan datang. Akhirnya saya mengucapkan selamat
membaca, semoga dapat menjadi referensi yang berguna untuk semuanya.
Jakarta
Penulis.
DAFTAR ISI
SAMPUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 1
a.
Latar Belakang........................................................................... 1
b.
Rumusan Masalah ..................................................................... 2
BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM 3
A.
Pengertian Psikologi
Dan Studi Islam........................................ 3
B. Potensi-Potensi Dalam Diri
Manusia.......................................... 4
a.
Fitrah..................................................................................... 5
b.
Roh........................................................................................ 5
c.
Qalb....................................................................................... 6
d.
Nafs....................................................................................... 7
e.
Aql........................................................................................ 8
C.
Pendekatan
Psikologi Dalam Studi Islam................................... 9
D. Metode Penelitian Dan Pendekatan
Dalam Psikologi............... 13
BAB III PENUTUP.......................................................................... 16
A.
Kesimpulan................................................................................ 16
B.
Saran.......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
"Maka
apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniupkan kedalamnya
ruh (ciptaan) Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud".[1]
Dari ayat diatas
dapat dikatakan bahwasanya manusia diciptakan dari tanah dan telah melalui
proses yang disempurnakan, maka kemudian ditiupkan Ruh dari Tuhannya. Kedua
unsur pokok tersebut (tanah dan ruh) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Dalam pandangan al-Qur'an sebagaimana yang dipahami oleh Imam
Ghazali.[2] Bahwa manusia memiliki aspek yang secara
tegas dapat dibedakan menjadi tiga, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan.
Ketiga aspek
tersebut adalah, pertama; aspek Jasad
yang merupakan keseluruhan fisik-biologis, sistem sel, kelenjar, dan sistem
syaraf (Psikologi Fisiologi). Kedua,
aspek Jiwa/psikis-psikologis yang merupakan keseluruhan kualitas insaniah yang
khas milik manusia, berupa: pikiran, perasaan, dan kemauan (Psikologi Humanistik).
Ketiga, aspek Ruh/spiritual-transendental
yang merupakan keseluruhan potensi luhur psikis manusia (Psikologi
Transpersonal).[3] Ketiga aspek inilah merupakan pembentuk
totalitas manusia.
Dengan demikian,
tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada sang Khaliq.[4] Dan sebagai khalifah dimuka bumi.[5]
Tugas yang dibebankan kepada manusia ini tidaklah berlebihan karena ketiga
aspek diatas tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebenarnya tugas ini merupakan
relasi integral antara alam, manusia, dan Tuhan. Oleh karena itu, relasi ketiga
aspek psikologis manusia diatas harus dapat terintegrasikan demi mencapai
tujuan penciptaan dan sekaligus sebagai insan al-kamil.
Karena banyaknya
bahasan dalam hal psikologi manusia, maka dalam studi Islam ini, penulis
menfokuskan bahasan pada aspek Psikis-psikologis atau dalam hal psikologi
humanistik, yaitu mencakup dimensi al-Nafs, al-'Aql, dan al-Qalb. Psikologi
humanistik memusatkan perhatian pada sisi kualitas kemanusiaan, berupa:
pikiran, perasaan, dan kemauan. Paradigma ini adalah menjunjung tinggi
nilai-nilai kebebasan dan kualitas kemanusiaan.[6]
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa Pengertian Psikologi Dan Studi Islam?
2. Apa Potensi-Potensi Dalam Diri Manusia ?
3. Bagaimana Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam ?
4. Metode Penelitian Dan Pendekatan Dalam Psikologi ?
BAB II
PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM
A.
Pengertian Psikologi
dan Studi Islam
Psikologi adalah
sebuah istilah yang dipergunakan untuk merujuk bentukan halus dalam diri
manusia yang tidak terlihat dan hanya dapat dirasakan. Sesuatu yang tidak
tampak itu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam memberikan definisi yang
tepat. Secara bahasa, psikologi berasal dari bahasa Inggris Psychology yang
berasal dari bahasa Yunani Psyche yang artinya jiwa, dan logos
yang berarti ilmu pengetahuan.[7] Jadi, psikologi
artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Baik mengenai macam-macam
gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut
ilmu jiwa.[8]
Karena
beragamnya para ahli dalam mendefinisikan pengertian psikologi, maka penulis
hanya mengutip dua pakar yang mewakili dalam pendefinisian psikologi. Menurut
Plato dan Aristotes bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Sedangkan
menurut Morgan, C.T. King bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia dan hewan.[9] Berbeda
halnya dalam khazanah keilmuan Islam bahwa psikologi tidak semata sebagai ilmu
yang membahas perilaku sebagai fenomena kejiwaan belaka melainkan dibahas dalam
konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah.
Sedangkan studi islam atau studi
keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas
Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya.
Dimaklumi bahwa Islam sebagai agama dan sistem ajaran
telah menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi
dalam rentang waktu yang panjang dan dalam ruang budaya yang beragam.
Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis terhadap
teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan menggunakan
pendekatan-pendektan tertentu, seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf, historis,
antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik
dianggap ilmiah.
Dengan pendekatan ini kajian tidak
disengajakan untuk menemukan atau mempertahankan keimanan atas kebenaran suatu
konsep atau ajaran tertentu, melainkan mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka
ruang di dalamnya untuk ditolak, diterima, maupun dipercaya
kebenarannya. Kajian dengan pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh
para orientalis atau islamis yang memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji
islam daru luar) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi
keislaman kontemporer.[10]
B.
Potensi-potensi Dalam Diri Manusia
Manusia
merupakan makhluk yang istimewa dibanding makhluk lainnya, karena disamping
memiliki dimensi fisik yang sempurna, ia juga memiliki dimensi roh dengan
segala potensinya. Jika potensi jasmani diketahui dari kata basyar, maka
untuk mengetahui potensi ruhani dapat dilihat dari kata al-insan.
Kata insan mempunyai
tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang memiliki arti
melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang
berarti lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya
jinak.[11]
Sedangkan
Quraish Shihab menganalisis kata insan hanya terambil dari
kata uns yang berarti jinak dan harmonis. Menurutnya, pendapat
di atas, jika dipandang dari sudut pandang al-Qur.an lebih tepat dari yang
mengatakan bahwa kata insan diambil dari kata nasiya (lupa)
atau dari kata nasa-yanusu (berguncang). Kata insan juga
digunakan al-Qur.an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya,
yaitu jiwa dan raga.[12]
Manusia sebagai
makhluk psikis (al-insan) memiliki potensi seperti fitrah, qalb,
nafs, dan akal. Karena potensi itulah manusia menjadi makhluk yang tinggi
martabatnya.Dengan demikian potensi ruhani manusia terdiri dari beberapa unsur
pokok, yaitu:
a.
Fitrah
Dari segi bahasa fitrah diambil dari kata al-fathr yang
berarti belahan dan dari makna ini lahir makna-makna lainnya antara lain
penciptaan atau kejadian. Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau
bawaan sejak lahirnya.[13] Sedangkan
Muhaimin dan Abdul Mujib memberikan penjelasan rinci tentang arti fitrah
yaitu; Pertama, Fitrah berarti suci (thur), yang
berarti kesucian dalam jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah berarti
mengakui ke-Esa-an Allah swt (tauhid). Ketiga, Fitrah
berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi danma'rifatullah. Keempat, Fitrah
berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature).[14]
Dalam pemahaman potensi fitrah inilah al-Ghazali
meneliti keistimewaan potensi fitrah yang dimiliki manusia, Pertama,
beriman kepada Allah. Kedua, kemampuan dan kesediaan untuk
menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan
dan pengajaran. Ketiga, dorongan ingin tahu untuk mencari
hakekat kebenaran yang berwujud daya berfikir. Keempat, dorongan
biologis berupa syahwat (sensual pleasure), ghadhab, dan
tabiat (insting).
Fitrah merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia
sejak ia dilahirkan berupa kecenderungan kepada tauhid serta kesucian jasmani
dan rohaninya, dan dalam Islam diakui bahwa lingkungan berpengaruh dalam
perkembangan fitrah menuju kesempurnaan dan kebenaran. Oleh karena itu, potensi
yang dimiliki manusia harus dikembangkan dan dilestarikan. Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan rasa
al-tauhid walupun masih didalam imateri (alam ruh)
b.
Roh
Roh
merupakan kekuatan yang dapat membebaskan diri dari batas-batas materi.
Kekuatan jasmani terikat dengan wujud materi dan inderanya, sedangkan kekuatan
roh tak satupun materi yang dapat mengikatnya. Ia mempunyai hukum sesuai dengan
penciptaan Allah padanya, yakni berhubungan dengan kelanggengan wujud azali.
Oleh karena itu Al-Kindi mengindentifikasi roh sebagai sesuatu yang tidak
tersusun, simpel, dan sederhana tetapi mempunyai arti yang penting sempurna dan
mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan, hubungannya dengan Tuhan sama
dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari.[15]
Dengan
demikian, walaupun roh memiliki karakteristik yang halus, abstrak, rahasia dan
ghaib, tetapi roh dapat diidentifikasi melalui sifatnya. Roh yang bersifat
jasmani merupakan zat yang menentukan hidup dan matinya manusia, sementara roh
yang bersifat rohani merupakan substansi manusia yang berasal dari substansi
Tuhan, sehingga memiliki potensi untuk berhubungan dengan tuhan atau mengenal
Tuhannya.
c.
Qalb
Hati dalam
bahasa Arabnya disebut qalb. Menurut ilmu biologi,qalb itu
segumpal darah yang terletak di dalam rongga dada, agak ke sebelah kiri,
warnanya agak kecoklatan dan berbentuk segitiga. Tetapi yang dimaksud di sini
bukanlah hati yang berupa segumpal darah dan bersifat materi itu, melainkan
hati yang bersifat immateri. Tentang hati yang bersifat immateri ini, Al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengidentifikasikan qalb menjadi
rahasia setiap manusia dan merupakan anugerah Allah yang paling mulia.[16]
Dengan
demikian, potensi yang dimiliki qalb tergantung kepada
karakteristik qalb itu sendiri yang berubah-ubah, sehingga
dalam penjelasan selanjutnya tentang potensi qalb ini, Dr.
Ahmad Mubarak menguraikan kandungan qalb yang memperkuat
potensi-potensi itu. Beliau menyebutkan berbagai kondisi qalb yang
berubah-ubah, yaitu penyakit, perasaan takut, getaran, kedamaian, keberanian,
cinta dan kasih sayang, kebaikan, iman, kedengkian, kufur, kesesatan,
penyesalan, panas hati, keraguan, kemunafikan, dan kesombongan.[17]
d.
Nafs
Dalam konteks rohani manusia, yang
dimaksud dengan nafs adalah kondisi kejiwaan setiap manusia
yang memiliki potensi berupa kemampuan menggerakkan perbuatan yang baik maupun
yang buruk.[18]
Al-Ghazali
membagi nafs kepada tiga tingkatan, yaitu:
1. Nafs tingkatan
utama, meliputi; Nafs Mardliyah, yaitu nafs yang
cenderung melaksanakan petunjuk, guna memperoleh ridho illahi. Nafs
Rodliyah, yaitu nafs yang cenderung kepada sifat ikhlas
tanpa pamrih atas aktivitas yang dilakukannya. Nafs Muthmainnah,
yaitu nafs yang cenderung kepada keharmonisan dan
ketenangan. Nafs Kamilah, yaitunafs yang mengarah
kepada pada tingkat kesempurnaan. Nafs Mulhamah, yaitu nafs yang
memiliki keutamaan dalam bertindak dan menjauhi perbuatan dengki, rakus dan iri
hati.
2. Nafs
Lawwamah, yaitu nafs yang
mencerminkan sifat-sifat insaniyah.
3. Nafs
Amarah, yaitu nafs yang
mencerminkan sifat-sifat hayawaniyah dan bahamiyah (kehewanan dan
kebinatangan).
Dalam
ensiklopedi Indonesia, ditampilkan pula ketujuh konsep sebagaimana pendapat
Al-Ghazali di atas dengan menggunakan tiga kelompok. Kelompok pertama adalah
nafs amarah yang memiliki ciri-ciri dorongan rendah yang
bersifat jasmaniah seperti loba, tamak serta cenderung menyakiti hati orang
lain. Kelompok kedua adalah nafslawwamah yang memiliki ciri-ciri
sudah menerima nilai-nilai kebaikan tetapi masih cenderung kepada dosa, walaupun
akhirnya menyesalinya. Kelompok ketiga adalah nafs-nafs yang berciri baik dan
luhur, yaitu:mardliyah, kamilah, mulhamah, muthmainnah, dan radliyah, yang
cenderung kepada sifat-sifat keutamaan, kesempurnaan, kerelaan, penyerahan
kepada tuhan dan mencapai ketenangan jiwa. Walaupun dalam Al-Qur'an hanya ada
tiga macam nafs yang disebutkan jelas jenisnya, pertama nafs amarah (Q.S.
Yusuf: 53), kedua nafs lawwamah (Q.S. al-Qiyamah: 2) dan nafs muthmainnah (Q.S.
Al-Fajr: 27).[19]
Dengan demikian nafs adalah kondisi kejiwaan setiap menusia yang
telah diilhamkan Allah kepadanya kebaikan dan keburukan, sehingga nafs memiliki
potensi berupa kemampuan untuk menggerakkan perbuatan yang baik dan buruk.
Potensi nafs tersebut ditentukan dari kualitas nafs itu sendiri, jika kualitas
nafs itu baik, maka nafs memiliki potensi untuk menggerakkan perbuatan baik,
sedangkan jika kualitas nafs itu buruk, maka nafs memiliki potensi untuk
menggerakkan perbuatan buruk.
e.
Aql
Manusia
dibedakan dengan makhluk lainnya karena manusia dikarunia akal dan
kehendak-kehendak (iradah). Akal yang dimaksud adalah berupa potensi,
bukan anatomi. Akal memungkinkan manusia untuk membedakan antara yang benar dan
yang salah, mengerjakan yang baik dan menghindari yang buruk.[20]
Dengan akal manusia dapat memahami, berpikir, belajar, merencanakan berbagai
kegiatan besar, serta memecahkan berbagai masalah sehingga akal merupakan daya
yang amat dahsyat yang dikaruniakan Allah kepada manusia.
Menurut
Ahmad D. Marimba, akal bermanfaat dalam bidang pengumpulan ilmu pengetahuan,
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, dan mencari jalan-jalan
yang lebih efisien untuk memenuhi maksud tersebut. Tetapi pada keadaan yang
lain, sebaliknya akal dapat pula berpotensi untuk mencari jalan-jalan ke arah
perbuatan yang sesat, mencari alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan yang
sesat itu, dan menghasilkan kecongkakan dalam diri manusia bahwa akal itu dapat
mengetahui segala-galanya.[21]
Pada
intinya adalah bahwa Allah memberikan suatu karunia besar dan maha dahsyat bagi
manusia, sebuah daya (kekuatan) yang dapat membawa manusia kepada kebaikan dan
manfaat, sebaliknya juga dapat merusak dan membawa madharat. Potensi akal yang
dimiliki manusia menjadikannya berbeda dengan makhluk lainnya di muka bumi ini.
C.
Pendekatan
Psikologi Dalam Studi Islam
Obyek formal
telaah psikologi adalah manusia dan obyek materialnya adalah tingkah laku
manusia.[22] Keberadaan manusia telah banyak dibahas
didalam Al-Qur'an diantaranya adalah tentang sifat-sifat dan potensinya.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dalam bentuk yang paling sempurna
dibanding makhluk lainnya.[23] Kesempurnaan manusia ini dibuktikan
dengan pemberian akal yang dapat digunakan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk, benar dan salah. Manusia dianjurkan mencari kebenaran untuk menjalani
hidup di dunia dan di akhirat kelak karena secara alamiah manusia mempunyai
potensi diri.
Proses
aktualisasi potensi itu merupakan pencapaian tujuan akhir pendidikan Islam.
Islam dapat dilihat mempunyai dua komponen, yaitu ibadah (aktifitas
penyembahan) dan mu'amalah (interaksi dengan sesama manusia).[24] Keduanya terjalin secara erat dan saling
berkaitan dalam banyak hal. Interaksi dengan sesama dan keterkaitan atas
keduanya yang dipengaruhi oleh perasaan, pikiran dan kemauan yang dimiliki oleh
manusia akan menghasilkan pengakuan yaitu pengakuan atas keberadaan dan
tanggung jawabnya sebagai abdillah dan khalifah.
Sedangkan untuk
mengaktualisasikan tugas ganda sebagai abdullah dan khalifah maka Allah telah
melengkapi manusia dengan sejumlah potensi dalam dirinya. Potensi yang dapat
menjalankan tugas dan tanggung jawab adalah al-Nafs, al-'Aql,dan al-Qalb.
Dimensi nafsu memiliki dua daya utama yaitu daya ghadab (marah)
dan daya syahwat (senang). Daya ghadab adalah daya untuk
menghindari sesuatu yang membahayakan atau hal yang tidak menyenangkan.
Sedangkan daya syahwat adalah daya untuk merebut dan mendorong kepada hal-hal
yang memberikan kenikmatan.[25]
Sementara dimensi
Aql memiliki daya mengetahui dan memahami. Daya mengetahui itu muncul sebagai
akibat adaya daya fikir seperti memikirkan, memperhatikan, menginterpretasikan.
Sedangkan dimensi Qalb memiliki dua daya yaitu daya memahami dan daya
merasakan. Daya memahami pada Qalb (disamping menggunakan daya memahami dan
merasakan) memiliki daya persepsi Ruhaniah yang sifatnya menerima, yaitu
memahami yang haqq dan ilham/ilmu dari Tuhan. Dengan demikian, jiwa manusia
mampu menangkap pengetahuan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan Aql dan
Qalb.[26]
Manusia bebas
menentukan tingkah lakunya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemauannya, namun
pada saat yang bersamaan, manusia juga bertanggung jawab terhadap lingkungan
alam, manusia, dan Tuhannya. Tanggung jawabnya terhadap alam adalah untuk
melestarikannya, tanggung jawabnya terhadap sesama manusia adalah
mensejahterakannya, dan tanggung jawab terhadap Tuhan adalah untuk mencari
Ridla-Nya.
Islam sebagai
petunjuk tentang ketundukan total kepada Allah dimaksudkan tidak hanya bagi
orang-orang tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia. Universalisme Islam ini
berarti bahwa semua manusia, baik sesama individu, sesama kelompok, maupun
sesama bangsa adalah sama dihadapan Allah. Seseorang atau kelompok tidak
dinilai berdasarkan keturunan atau kesempurnaan fisik seseorang tetapi
berdasarkan keimanan, kehidupan yang lebih baik, dan perhatiannya kepada
kesejahteraan orang lain.
Manusia adalah
makhluk Tuhan yang dalam perkembangan jasmaniah dan ruhaniahnya selalu
memerlukan bimbingan dan pengarahan melalui proses pendidikan. Membimbing dan
mengarahkan perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani dalam pengertian bahwa
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari psikologis.[27]
Psikologi Islami
memandang bahwa manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam, manusia,
dan Tuhan. Hubungan manusia dengan alam sangat diperlukan untuk menghargai
dan menghormati terhadap ciptaannya sehingga manusia mampu menjaga lingkungan
yang baik. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya yaitu menjaga dan
melindungi harga dan martabat sebagai manusia, karena manusia diciptakan sama,
maka sikap dan tindakan jangan sampai mengakibatkan perpecahan dan permusuhan.
Sementara manusia dengan Tuhan tiada lain untuk menciptakan hubungan
penghambaan yang baik, karena manusia diciptakan oleh Allah dengan penuh kasih
sayang.
Dalam pandangan
psikologis humanistik, manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dari aspek
kemauan,[28]
kebebasan, perasaan, dan pikiran untuk mengungkap makna hidup dengan
berdasarkan nilai-nilai ketauhidan sehingga manusia mampu mengembangkan potensi
dan kualitas hidup yang Islami.[29]
Oleh karena itu, konsep tersebut mengintegrasikan hubungan piramida antara
nafs, akal, dan hati ke dalam konteks psikologis manusia dengan berdasarkan
pada ajaran-ajaran wahyu. Hubungan konsep psikologis humanistik tersebut, akan
melahirkan kreatifitas hidup sebagaimana yang telah dipesankan Tuhan dalam
al-Qur'an
yaitu semangat untuk berpikir, kemauan berbuat kebaikan dan menciptakan
nilai-nilai spritualitas yang tinggi demi kualitas hidup manusia secara
universal.
Ketika manusia menghadapi alam semesta
yang mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam, maka manusia telah dapat
mengetahui adanya Dzat yang maha suci lagi maha segalanya. Untuk mengetahui
Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu wahyu turun.
Namun, dari pengalaman-pengalaman yang pernah ia alami dan bahkan dapat
dirasakan oleh siapa pun, merupakan salah satu cara untuk mengenal Dzat
tersebut. Pengalaman-pengalaman batin yang mendalam inilah yang dinamakan
ilmu al-hudury.[30]
Semua pengalaman tersebut dapat
dirasakan oleh semua manusia, apapun warna kulit dan agamanya, tanpa mengatakan
terlebih dahulu siapa dan dari mana asalnya. Kebenaran epistemologi irfani
dapat dirasakan secara langsung. Pemisah yang berupa formalitas lahiriyah yang
dibuat oleh lingkungan dan tradisi, dikesampingkan oleh berfikir irfani dan
menggantikannya dengan nalar epistemologi irfani.
Dengan
demikian, penegasan
terhadap kenyataan diri yang sesungguhnya bahwa penguasa segala sesuatu adalah
satu, namun tidak semata berarti suatu bilangan. Ke Esaan Allah diluar
bilangan, ini untuk menjelaskan atas keistimewaan-Nya. Ke Esaan Allah akan terwujud dalam dunia sekeliling
manusia, dalam keharmonisan, keteraturan, dan keindahan ciptaannya tanpa
adanya sekat yeng memisahkan.[31]
Pengakuan terhadap Tuhan Esa dapat
dirasakan dan dipercayai oleh manusia ketika ia menggunakan olah pikir hati dan
dukungan olah pikir akal.Iman
berarti keselamatan atau keamanan, dan ini melibatkan pengakuan dihati dan
perbuatan anggota badan, yang keduanya diperkuat oleh kemampuan olah pikir.
Beriman kepada Allah dalam hal ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa hal itu
memberikan kerangka dasar dimana moralitas harus dilaksanakan. Manusia dapat
memilih moralitas tanpa agama, namun kondisi ini akan membawa manusia kepada
bencana ideologi komunisme.
Prinsip-prinsip ajaran
tersebut harus dilakukan oleh umat Islam untuk mengembangkan kesadaran spritual
untuk meningkatkan kualitas dan potensi hidup secara Islami.
Semangat konsep
psikologis humanistik mengisi dan mengembangkan bahkan mengkritik konsep-konsep
Barat yang cenderung mengedepankan konsep pemisahan agama dengan ilmu
pengetahuan. Simbol yang menyolok dari arogansi manusia ini adalah penyombongan
terhadap Titanic yang tenggelam ke dalam lautan Allah pada musim semi (tahun
1912).[32]
Salah satu bukti kritikan terhadap Barat tentang perkembangan psikologis yaitu
Sigmund Freud dalam teori psikoalisis yang menyatakan bahwa, anatomi tubuh
manusia ada tiga kategori yaitu, Id, Ego, dan Super Ego yang tidak dapat
dipisahkan.[33] Menurutnya,
yang lebih dominan dalam struktur psikis manusia bawah sadar adalah Id dan
memandang manusia sebagai makhluk yang sangat ditentukan oleh masa lalunya.
Teori ini
dipandang sebagai teori yang menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang
ada dalam diri manusia. Teori ini hanya menjelaskan adanya kebutuhan manusia
yang paling mendasar, yaitu kebutuhan fisiologis. Namun teori ini belum mampu
menjelaskan kebutuhan-kebutuhan luhur (mulia) dari diri manusia. Sejalan dengan
itu, teori ini juga belum mampu menjelaskan tentang kebutuhan manusia terhadap
agama dan adanya dorongan iman sebagai penggerak seseorang untuk bertingkah
laku.[34] Manusia
tidak dibebaskan begitu saja tanpa adanya pergerakan hati mereka untuk memilih.
Setiap manusia dilahirkan sebagai muslim pada saat awal penciptaannya.
Manusia adalah
sekumpulan kontradiksi, yaitu diciptakan secara fitrah dalam keadaan beriman
tetapi mereka juga memiliki kecenderungan untuk mengikuti nafsu atau keinginan
jasmaninya. Keadaan ini justru merupakan kekuatan besar untuk melaksanakan
tugas sebagai hamba dan khalifah karena akan mudah menerima ajaran agama yaitu
Islam, suatu agama yang sesuai dengan fitrah kejadian manusia, agama yang
mengatur hubungan manusia dan Tuhan, manusia dengan sesamannya dan manusia
dengan alam lainnya.
D.
Metode Penelitian Dan Pendekatan
Dalam Psikologi
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, maka psikologi juga
memiliki metode penelitian dan pendekatan. Adapun metode penelitian dalam
psikologi adalah :
1. Dokumen pribadi (personal document)
Metode ini digunakan untuk mempelajari tentang
bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseorang. Untuk memperoleh informasi
mengenai hal dimaksud maka cara yang ditempuh adalah mengumpulkan dokumen
pribadi seseorang. Dokumen tersebut mungkin berupa autobiografi, biografi,
tulisan ataupun catatan-catatan yang dibuatnya.[35]
Dalam penerapannya metode dokumen pribadi ini
dilakukan dengan berbagai cara atau teknik-teknik tertentu. Diantaranya yang
banyak digunakan:
·
Teknik Nomothatic, digunakan untuk
menarik kesimpulan sejumlah dokumen yang diteliti.
·
Teknik Analisis Nilai (Value
Analysis), teknik ini digunakan dengan dukungan analisa statistik. Bagi
data yang sudah terkumpul diklasifikasikan menurut teknik statistik lalu
dianalisis untuk dijadikan penilaian terhadap individu yang diteliti.
·
Teknik Idiography Approach, teknik
ini digunakan sebagai pelengkap dari teknik nomothatic. Hasil penelitian yang
didasarkan pada teknik ini adalah berupa kesimpulan yang diperoleh dari
penafsiran bebas.
·
Teknik Penilaian Terhadap Sikap (Evaluation
Attitudes Technique), teknik ini digunakan dalam penelitian terhadap biografi
tulisan, atau dokumen yang ada hubungannya dengan individu yang akan diteliti.[36]
2.
Kuesioner dan Wawancara
Metode
kuesioner dan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang
lebih banyak lagi dan ditujukan secara langsung kepada responden.[37]
Adapun
teknik yang digunakan dalam metode ini untuk mengumpulkan data adalah:
·
Pengumpulan Pendapat Masyarakat (Public
Opinion Polls). Teknik ini merupakan gabungan antara kuesioner dan
wawancara.
·
Skala Penilaian (Rating Scale), teknik
ini digunakan untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok.
·
Tes (Test), tes digunakan
dalam upaya untuk mempelajari tingkah laku seseorang dalam kondisi tertentu.
·
Eksprimen
·
Observasi
·
Pendekatan Terhadap Perkembangan (Devolepment
Approach), digunakan untuk meneliti asal-usul dan perkembangan aspek
psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianutnya.
·
Metode Klinis
Ada beberapa macam pendekatan dalam psikologi agama.
Antara lain seperti:
1. Pendekatan
Struktural, yaitu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari pengalaman
seseorang berdasarkan tingkatan atau kategori tertentu. Struktur pengalaman tersebut
dilakukan dengan menggunakan metode pengalaman dan introspeksi. Pendekatan ini
dipakai oleh Wilhelm Wundt.
2. Pendekatan
Fungsional, yaitu pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari bagaimana agama
dapat berfungsi atau berpengaruh terhadap tingkah laku hidup individu dalam
kehidupannya. Pendekatan ini pertama kali dipergunakan
oleh William James (1910 M), ia adalah penemu laboratorium psikologi pertama
di Amerika pada Universitas Harvard.
3. Pendekatan
Psiko-analisis, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk menjelaskan tentang
pengaruh agama dalam kepribadian seseorang dan hubungannya dengan
penyakit-penyakit jiwa. Pendekatan ini pertama kali dilakukan oleh Sigmung
Freud (1856-1939 M).[39]
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Psikologi artinya ilmu
yang mempelajari tentang jiwa. Baik mengenai macam-macam gejalanya,
prosesnya maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut ilmu jiwa
2. Studi
islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin
ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun
kehidupan umatnya. Dimaklumi bahwa Islam sebagai agama dan
sistem ajaran telah menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi
ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam ruang budaya yang
beragam
3. Potensi manusia yang berupa pikiran, perasaan, dan
kemauan yang diaktualkan kepada pengakuan tentang ke Esaan Allah bukanlah
sebagai argumentasi filosofis melaikan penegasan bahwa manusia memang
mengakuinya. Demikianlah mereka mengikuti seruan Allah. Tauhid berarti
pengetahuan bahwa Allah sebagai satu-satunya penguasa yang berkuasa atas alam
semesta. Pengetahuan ini bukanlah hasil dari kepercayaan tetapi ia adalah dasar
kepercayaan. Kesadaran akan tauhid adalah bagian dari pengetahuan yang Allah
ciptakan dalam diri setiap manusia pada sifat fitrahnya.
4. Pencapaian tujuan akhir pendidikan Islam. Islam dapat
dilihat mempunyai dua komponen, yaitu ibadah (aktifitas penyembahan) dan
mu'amalah (interaksi dengan sesama manusia). Keduanya terjalin secara erat dan
saling berkaitan dalam banyak hal. Interaksi dengan sesama dan keterkaitan atas
keduanya yang dipengaruhi oleh perasaan, pikiran dan kemauan yang dimiliki oleh
manusia akan menghasilkan pengakuan yaitu pengakuan atas keberadaan dan
tanggung jawabnya sebagai abdillah dan khalifah.
B. SARAN
Kritik dan saran sangat kami
harapkan dari para pembaca yang budiman demi kesempurnaan makalah ini, dan
makalah-makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Nashori, Fuad. Potensi-potensi Manusia, Seri Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005.
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005.
______________, Paradigma Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004.
Abdul Rahman
Shaleh & Wahab, Muhib Abdul. Psikologi Suatu Pengantar, Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005.
Fauzi,
Ahmad. Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
http://miftah19.wordpress.com/2014/07/10/ Pendekatan-Studi-Islam-Bag-1
Manzur, Ibn. Lisan al-Arab, Jilid VII, Mesir: Daar al-Mishriyyah, 1968.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, Cet. III,1996.
Muhaimin dan
Mujib, Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Tri Genda Karya, Cet. I, 1993.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IX, 1995.
Umary, Barmawie. Materi Akhlak, Solo: Ramadhani, Cet. I, 1989.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, Cet.I, 1996.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003.
______________, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, Cet. III, 1985.
______________, Teori-teori Kesehatan Mental, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992.
Marimba, Ahmad
D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma.arif, Cet. VIII, 1989.
Ayoub, Mahmoud
M. Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual, Refleksi Cendikiawan
Muslim Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur Hidayat, Yogyakarta : AK. Group, 2004.
Arifin, M. Ilmu
Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di
Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Lahey,
Benjamin B., Psychology An Intriduction.
New York : Mc Graw Hill, 2003.
Dingagunasa, Singgih, Pengantar Ilmu Psikologi. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1996.
Darajat, Zakiah, Ilmu
Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang, 1979.
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam
Mulia, 1996.
[2] Fuad
Nashori, Potensi-potensi Manusia, Seri Psikologi Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005), h. 111.
[3] Senada
dengan al-Ghazali, Baharuddin membedakan aspek manusia terdiri dari Jismiah,
Nafsiah, dan Ruhaniah. Selengkapnya lihat, Baharuddin,Paradigma Psikologi
Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. I, 2004), h 160.
[6] Manusialah
yang menentukan dan berkuasa atas dirinya sendiri dengan dorongan aspek nafs,
aql dan qalb. Baharuddin, Paradigma, h.114
[7] Abdul
Rahman Shaleh & Muhib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar, Dalam
Perspektif Islam (Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005), h. 1.
[14] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan
Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung:
Tri Genda Karya, Cet. I, 1993), h. 13-19.
[15] Harun
Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, Cet. IX, 1995), h. 17.
[20] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban
Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna, Cet. III, 1985), h. 224.
[21] Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al
Ma.arif, Cet. VIII, 1989), h. 111.
[24] Mahmoud
M. Ayoub, Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual, Refleksi
Cendikiawan Muslim Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur
Hidayat (Yogyakarta : AK. Group, 2004), h. 125.
[27] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan
Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta:
Bumi Aksara, 2006), h. 103.
[30] M.
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 208.
[33] Hasan
Langgulung, Teori-teori, hlm. 313. Lihat juga, Baharuddin, Aktualisasi
Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005), h. 104.