BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Rasmul Qur’an merupakan salah satu bagian
disiplin ilmu Al-Qur’an yang mana di dalamnya mempelajari tentang penulisan
Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan
lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an
dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Tulisan Al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang
dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul
setelah rampungnya penyalinan Al-Qur’an yang dilakukan oleh team yang dibentuk
oleh Ustman pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya
di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul
Mukminin Ustman ra.
Para Ulama berbeda pendapat tentang penulisan
ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut bersifat
tauqifi (ketetapan langsung dari Rasulullah), mereka berlandaskan riwayat yang
menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah satu Kuttab (juru tulis
wahyu) yaitu Mu’awiyah tentang tatacara penulisan wahyu. diantara Ulama
yang berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam kitabnya
“al-Ibriz” yang menukil perkataan gurunya “ Abdul ‘Aziz al-Dibagh”, “bahwa tulisan
yang terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki rahasia-rahasia dan tidak
ada satupun sahabat yang memiliki andil, sepertihalnya diketahui bahwa Al-Qur’an
adalh mu’jizat begitupula tulisannya”. Namun disisi lain, ada beberapa ulama
yang mengatakan bahwa, Rasmul Ustmani bukanlah tauqifi, tapi hanyalah tatacara
penulisan Al-Qur’an saja.
Dewasa ini muncul wacana, bahwa
keyakinan disebagian masyarakat muslim Indonesia bahwa mushaf Al-Qur’an yang
paling benar dan sesuai dengan kaidah penulisan rasm usmani adalah adalah
mushaf madinah, sebuah mushaf yang oleh para pengkaji Ulumul Al-Quran dikatakan
besumber pada mushaf edisi yang terbit pada 1923. Sedangkan mushaf-mushaf Al-Qur’an lainnya masih
diragukan ke asliannya.[1]
Dalam konteks keindonesiaan,
wacana ini kemudian berkembang dan mengiringi lahirnya Mushaf Al-Quran standar
Indonesia selanjutnya disebut MAQSI yang sejak 1982 resmi menjadi mushaf
rujukan semua mushaf yang terbit dan beredar di Indonesia[2]
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi perumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apakah
Pengertian Rosm Al-Qur’an?
2. bagaimana Rosm Al-Qur’an di
jaman Usmani?
3. bagaimana perkembangan Rosm pasca utsman?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RASM AL-QUR’AN
Istilah
rasmul Al-Qur’an terdiri dari dua kata yaitu rasm dan Al-Qur’an. Kata rasm berarti bentuk tulisan. Dapat juga
diartikan dengan ‘atsar dan ‘alamah. Sedangkan Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
dengan perantaraan malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf- mushaf
dan disampaikan kepada umat manusia secara mutawatir (oleh Banyak Orang)
dan mempelajarinya suatu ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan di akhiri
dengan surat an-Nas [3]
Dengan
demikian, rasm al-Quran berarti bentuk tulisan Al-Qur’an. Para ulama lebih cendrung menamakannya dengan istilah rasmmushaf. Ada pula yang
menyebutnya rasmulutsmani. Ini wajar karena khalifah Utsman lah yang merestui
dilakukannya penulisan Al-Quran. Rasmulmushaf
merupakan ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta
sahabat- sahabat lainya dalam penulisan Al-Quran yang
berkaitan dengan susunan huruf- hurufnya yang terdapat dalam mushaf- mushaf
yang dikirim ke berbagi daerah dan kota serta mushaf al- imam
yang berada di tangan khalifah Utsman bin Affan itu sendiri.[4]
Rasm Al-Qur’an
juga adalah penulisan mushaf Al-qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik
dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya[5]
Sejak awal
hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Quran telah ditulis dan didokumentasikan
oleh para penulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.[6] Disamping itu seluruh ayat Al-Qur’an dinukilkan
atau diriwayatkan secara mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan ditulis
dan dibukukan dalam satu mushaf.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa rasmul al-Quran itu adalah bentuk penulisan al-Quran yang
sebagian ulama menyebutnya dengan rasmmushaf dan sebagian ulama yang
lain menyebutnya dengan rasmUtsmani. Terlepas dari apapun namanya kata
kuncinya adalah “bentuk tulisan” dari Al-Quran itu
sendiri.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi SAW dilakukan
oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi juga membentuk tim khusus untuk sekretaris
(juru tulis) Al-Qur’an guna mencatat setiap kali turun wahyu. Diantara mereka
ialah; zaid binTsabit, Ubai bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais.[7] Hal yang
sama juga ditulis dalam kitab Manahil al Irfan fi Ulumi Al-Qur’an, oleh Muhammad Abdul Adhim
Az-Zurqoni sebagai berikut:
Yang dimaksud rasam mushaf di sini adalah yang digunakan oleh Usman ra.
dalam penulisan kata-kata dan huruf-huruf Al-Qur an. Menurut ketentuan asal,
tulisan harus benar-benar sesuai dengan pengucapannya, tanpa penambahan atau
pengurangan sama sekali, penggantian ataupun perubahan. Tetapi mushaf-mushaf
Usman mengabaikan ketentuan asal itu, sehingga di dalamnya banyak rasam yang
menyimpang dari pengucapan semestinya, hal itu karena tujuan-tujuan luhur yang
segera akan kami jelaskan.
Para Ulama telah membicarakan rasam Al-Qur’an dan kata-kata yang tidak
sesuai dengan pengucapannya. Sebagian Ulama menyusun karya sendiri mengenai hal
ini, antara lain al-Imam Abu Amr Ad Daniy yang menyusun buku berjudul Al
Muqanna’, Al Allamah Abu Abbas Al Marakisyi yang menyusun buku berjudul ‘Unwan
ad dalil fi rusum Khath at Tanzil dan Al Allamah As Syaikh Muhammad bin
Ahmad yang lebih populer dengan panggilan Al Mutawaliy yang menyusun
Nadham-nadham berjudul Al Lu’lu’ wal Mandhum fi Dzikr jumlah min al marsum.
Kemudian muncul Al Allamah As Syaikh Muhammad Khalaf Al Husaini, Guru Al
Muqarri’ di kawasan mesir, yang mensyarah nadham-nadham itu dan memberikan
notasi pada syarah-syarah itu dalam sebuah buku yang berjudul Mursyid Al
Hairan ila ma’rifah ma yajib ittibauhu fi rasm al Qur’an.[8]
B. ROSM AL-QUR’AN DI JAMAN USMANI
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara
satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan
standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak
direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada
yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang
menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh
penulisnya.
Contoh tulisan Al-qur’an tampa baris pada abad ke
9, 10
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf
Al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak
seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda
titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س) dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke
wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan,
dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para
pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa
Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan
Ali ibn Abi Thalib ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Du’ali membuatkan
tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-Qur’an
bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an. Al-Du’ali memenuhi permintaan itu.
a.
Penulisan Rasm Al-Qur’an
Masa Khalifah Usman. Dan Pola Penulisan Al-Qur’an
Dalam Mushaf Usmani
Bangsa Arab sebelum Islam dalam tulis menulis menggunakan khot Hijri.
Setelah datang Islam dinamakan Khot Kufi.[9] Sejauh itu Bahasa dapat terpelihara dari kerusakan-kerusakan, karena ada
kemampuan berbahasa yang tertanam dalam jiwa mereka.
Pada masa khalifah utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar ke berbagai
kepenjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja.
Pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an yang masing-masing
pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat di sayangkan masing-masing pihak
merasa bahwa bacaan yang di gunakannya adalah yang terbaik.
Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta
untuk memudahkan membaca Al-Qur`an bagi orang-orang awam, maka Utsman bin Affan
membentuk panitia yang terdiri dari 12 orang untuk menyusun penulisan dan
memperbanyak naskah Al-Qur`an. Mereka itu adalah: 1. Sa`id bin Al-As bin Sa`id
bin Al-As, 2. Nafi bin Zubair bin Amr bin Naufal, 3. Zaid bin Tsabit, 4. Ubay
bin ka`b, 5. Abdullah bin az-Zubair, 6. Abrur-Rahman bin Hisham, 7. Khatir bin
Aflah, 8. Anas bin Malik, 9. Abdullah bin Abbas, 10. Malik bin Abi Amir, 11.
Abdullah bin Umar, 12. Abdullah bin Amr bin al-As.[10] Mereka inilah yang menyusun mushaf Al-Qur`an
yang kemudian di kenal dengan mushaf Utsmani, ada juga yang mengatakan bahwa
panitia yang di bentuk oleh Utsman ada empat orang mereka itu adalah Zaid bin
Tsabit, abdulalh bin Zubair, Sa’id bin Al-As dan Abdurrahman bin Al-Harits,[11]
b. Kedudukan Rasm Usmani
Kedudukan rasm Ustman dipersilisihkan para
ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi) atau
hanya ijtihad para sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani
bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang
ditunjuk dan dipercayai Nabi Saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan
ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan
(ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams
Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah
ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah
riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat
dikutip oleh Rajab Farjani: “Sesungguhnya Rasulullah Saw, memerintahkan menulis
Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula
melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
Beberapa orang
memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa Rasm
Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri oleh
Rasulullah Saw.
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm
itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi
diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang
dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat
bahwa pola penulisan Al Qur’an itu berasal dari Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola
penulisan Al-Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang
mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi
(tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya
menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal
dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm
‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas
(jumhur ulama)
Dari beberapa penjelasan ataupun pendapat di atas maka dapat kita
kelompokan sebagai berikut :
1.
Kelompok
pertama (jumhur ulama) bahwa pola rasm
Usmani bersifat taufiqi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah
sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut
bukan merupakan ijtihad para sahabat,Nabi, dan para sahabat tidak mungkin
melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak
dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi didalam penulisan baku, tetapi
dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola
penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.[12]
Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani
adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi, (tauqifi).
Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah
penulisan yang telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik
berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm
Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas
(jumhur ulama).
2.
kelompok
kedua berpandapat, bahwa pola
penulisan didalam rasm Usmani tidak bersifat tauqifi, tetapi hanya
bersifat ijtihad para sahabat. Tidak ditemukan riwayat Nabi mengenai
ketentuan pola penulisan wahyu. Ringkasnya, segala orang yang mengatakan bahwa
wajib atas manusia menempuh rasm yang satu, wajiblah dia menegakkan
hujjah untuk membuktikan kebenaran dakwahnya[13]
3.
kelompok
ketiga mengatakan, bahwa Al-Qur’an
dengan rasm imla’i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi
para ulama atau yang memahami rasm Usmani tetap wajib mempertahankan
keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat Al-Zarqani dengan mengatakan
bahwa rasm imla’i diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan
membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara
keaslian mushaf Al-Qur’an[14]
Dari ketiga pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa menjaga
keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca
Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang
diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses
penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar
sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin
Tsabit yang merupakan sekertaris Rasulullah SAW.
c. Sosialisasi Dan Distribusi Mushaf Usmani
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi
langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. selesai menunaikan tugasnya,
beliau kemudian melakukan beberapa langkah penting sebelum kemudian
mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. Langkah-langkah
penting itu adalah: [15]
1.
Membacakan naskah final
tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi,
terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a.
2. Membakar seluruh manuskrip Al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan
pecahan-pecahan tulisan Al-Qur’an dianggap tidak
diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat.
Setelah melakukan dua langkah tersebut, ‘Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai
melakukan pengiriman mushaf Al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda
pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu
itu.[16]
Sementara Al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain disamping pendapat di atas- yang
menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.[17]
Semua naskah itu
ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a
untuk dirinya yang kemudian dikenal
juga dengan al-Mushaf al-Imam. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa. Mushaf-mushaf tersebut oleh para
ahli al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang
diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf
Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf
‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga
tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’
dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut.
Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca
mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Ini
tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf Utsmani tersebut hanya
mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa
adanya para qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi.
Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan Al-Qur’an yang juga berarti pewarisan Al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan
pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf belaka.
C.
PERKEMBANGAN ROSM PASCA UTSMAN
Sebagaimana telah diketahui,
bahwa naskah mushaf Utsmani generasi
pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada
huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) yang lazim
kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf Al-Qur’an. Langkah ini sengaja
ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan)
tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan
oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah,
semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan
langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan
pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya
penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40
tahun lamanya.
Contoh penulisan Al-Quran di jaman Usmani tampa baris
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah
baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non
Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya
interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab muslim ataupun non
muslim. Akibatnya, al-‘ujmah
(kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan
dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan.
Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin
Arab sendiri.
Hal ini kemudian
menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama
karena mengingat mushaf Al-Qur’an yang umum
tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan
harakat.
Dalam beberapa
referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan
terhadap mushaf Al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh
Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya
ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus
putranya, Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda
itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun
mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu,
Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly[18]
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah
merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang
dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an
dengan benar.”
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam
penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk
kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh,
dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian
tengahnya.
Dalam perkembangan
selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai
bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang
diletakkan di bagian atas huruf.[19] Dan seperti yang
disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan
sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah misalnya-
berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah
berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah
lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.[20] Namun lagi-lagi perlu
ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah
bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada
Rasulullah saw.
b. Pemberian Titik Pada Huruf (Nuqath Al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding
pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara
huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya
berbeda. Seperti pada huruf ب (ba) ت )ta( )ثtsa(.Pada penulisan mushaf Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa
menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah seperti telah disebutkan untuk mengakomodir
ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi
muslimin Arab dengan bangsa non Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah)
pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
pertimbangan, keduanya lalu
memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian
titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama).
Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan
titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:[21]
a.
untuk membedakan antara
د dal dan ذ dzal, ر ra’ da ز zay ص shad dan ض dhad, ط tha’ dan ظ zha’, serta ع‘ain
dan
غ ghain, maka huruf-huruf
pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal),
sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b. untuk pasangan سsin dan ش syin, huruf pertama diabaikan
tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik.
Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik
saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan
yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan يya’.
c. untuk rangkaian huruf ج jin, ح ha dan خ kha, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. sedangkan pasangan ف fa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan
dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di
wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan
dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di
wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’,
dan satu titik atas untuk qaf.
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan
antara lain:
1. Rasm Al Qur’an yaitu penulisan mushaf Al-qur’an yang dilakukan dengan cara
khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang
digunakannya.
2. Proses perkembangan penulisan Al-Quran dari zaman Rasullullah SAW, sampai
Khalifah Usman Bin Affan keotentikan Al-Quran masih tetap terpelihara dan
terjaga sebab, salah satu sekertaris penulis Al-Qur’an di Zaman Rasullah, Zaid
Bin Tsabit tidak pernah lepas dari perannya sebagai penulis baik di zama Abu
Bakar maupun di zaman Usman bin Affan. Ini membuktikan bahwa Allah selalu dan
senatiasa memelihara Al-Qur’an.
3. mushaf ‘Utsmany telah melalui perjalanan yang sangat panjang melintasi
kurun waktu 14 abad lamanya. Berbagai inovasi kemudian dikembangkan dalam
penulisan ulang dan penggandaan naskahnya. Tetapi selama itu pula, al-Qur’an
yang termuat didalamnya tetap terjaga keasliannya; huruf demi huruf, kata per
kata, kalimat per kalimat. Hal ini terbukti oleh perjalanan sejarah, dimana tak
satu pun upaya untuk menyimpangkan isinya melainkan dengan segera tersingkap di
tangan para ulama, khususnya yang menggeluti bidang al-Qur’an dan semua bidang
ilmunya. Ini tentu saja tidak lepas dari metode pewarisan yang sangat unik
dalam menyampaikan al-Qur’an dari kurun demi kurun. Inovasi apapun yang
dikembangkan dalam penulisannya, sama sekali tidak mengubah eksistensinya
sebagai Kalamullah.
4. Dengan adanya Rasm Al-Qur’an dapat memudahkan
kita dalam membaca dan memahami kandungan Al-Qur’an.
B.
SARAN
Kritik dan saran sangat kami butuhkan dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami buat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Syadzali, Ahmad dan Rofii, Ahmad.Ulumul Qur’an II.
Bandung: Pustaka setia. 2000
Syaikh Muhammad Abdul Adhim Az Zarqani, Manahil
al Urfan fi ulum al Qur an, Tarj. Qadirun Nur, (Jakarta, Gaya Media
Pratama, 2002)
Mahmud, Adnan, dkk., UlumulQuran, Jakarta:
Restu Ilahi, 2005
Latjen Pentashihan Mushaf Al-Quran Badan Litbang
Dan Diklat Kementrian Agama RI. Al-Quran
diera Global Antara teks dan realitas. (Jakarta: Lajnan Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an,2013)
Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an:Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Cet, II; Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1998)
Al-A’zami,M.M. The History Of Qur’anic Text.
Terj. Sohirin Solihin dkk. (Jakarta: Gema Insani Press. 2005)
Anwar, Rosihan. Ulumul
Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia. 2006)
M.Quraish
Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001)
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran Perbedaan dan
Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur’an (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar