Kamis, 14 Agustus 2014

sejarak penulisan rasm Al-quran

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Rasmul Qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu Al-Qur’an yang mana di dalamnya mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Tulisan Al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah rampungnya penyalinan Al-Qur’an yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Ustman  pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Ustman ra.
Para Ulama berbeda pendapat tentang penulisan ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut bersifat tauqifi (ketetapan langsung dari Rasulullah), mereka berlandaskan riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah satu Kuttab (juru tulis wahyu) yaitu Mu’awiyah  tentang tatacara penulisan wahyu. diantara Ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam kitabnya “al-Ibriz” yang menukil perkataan gurunya “ Abdul ‘Aziz al-Dibagh”, “bahwa tulisan yang terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki rahasia-rahasia dan tidak ada satupun sahabat yang memiliki andil, sepertihalnya diketahui bahwa Al-Qur’an adalh mu’jizat begitupula tulisannya”. Namun disisi lain, ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa, Rasmul Ustmani bukanlah tauqifi, tapi hanyalah tatacara penulisan Al-Qur’an saja.
Dewasa ini muncul wacana, bahwa keyakinan disebagian masyarakat muslim Indonesia bahwa mushaf Al-Qur’an yang paling benar dan sesuai dengan kaidah penulisan rasm usmani adalah adalah mushaf madinah, sebuah mushaf yang oleh para pengkaji Ulumul Al-Quran dikatakan besumber pada mushaf edisi yang terbit pada 1923. Sedangkan   mushaf-mushaf Al-Qur’an lainnya masih diragukan ke asliannya.[1]
Dalam konteks keindonesiaan, wacana ini kemudian berkembang dan mengiringi lahirnya Mushaf Al-Quran standar Indonesia selanjutnya disebut MAQSI yang sejak 1982 resmi menjadi mushaf rujukan semua mushaf yang terbit dan beredar di Indonesia[2]

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah Pengertian Rosm Al-Qur’an?
2.      bagaimana Rosm Al-Qur’an di jaman Usmani?
3.      bagaimana perkembangan Rosm pasca utsman?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN RASM AL-QUR’AN
Istilah rasmul Al-Qur’an terdiri dari dua kata yaitu rasm dan Al-Qur’an. Kata rasm berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan dengan ‘atsar dan ‘alamah. Sedangkan Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf- mushaf dan disampaikan kepada umat manusia secara mutawatir (oleh Banyak Orang) dan mempelajarinya suatu ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas [3]
Dengan demikian, rasm al-Quran berarti bentuk tulisan Al-Quran. Para ulama lebih cendrung menamakannya dengan istilah rasmmushaf. Ada pula yang menyebutnya rasmulutsmani. Ini wajar karena khalifah Utsman lah yang merestui dilakukannya penulisan Al-Quran. Rasmulmushaf merupakan ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat- sahabat lainya dalam penulisan Al-Quran yang berkaitan dengan susunan huruf- hurufnya yang terdapat dalam mushaf- mushaf yang dikirim ke berbagi daerah dan kota serta mushaf  al- imam yang berada di tangan khalifah Utsman bin Affan itu sendiri.[4]
Rasm Al-Qur’an juga adalah penulisan mushaf Al-qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya[5]
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Quran telah ditulis dan didokumentasikan oleh para penulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.[6] Disamping itu seluruh ayat Al-Qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawattir baik secara hafalan maupun tulisan ditulis dan dibukukan dalam satu mushaf.
Jadi dapat disimpulkan bahwa rasmul al-Quran itu adalah bentuk penulisan al-Quran yang sebagian ulama menyebutnya dengan rasmmushaf dan sebagian ulama yang lain menyebutnya dengan rasmUtsmani. Terlepas dari apapun namanya kata kuncinya adalah “bentuk tulisan” dari Al-Quran itu sendiri.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi SAW dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi juga membentuk tim khusus untuk sekretaris (juru tulis) Al-Qur’an guna mencatat setiap kali turun wahyu. Diantara mereka ialah; zaid binTsabit, Ubai bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais.[7] Hal yang sama juga ditulis dalam kitab Manahil al Irfan fi Ulumi Al-Qur’an, oleh Muhammad Abdul Adhim Az-Zurqoni sebagai berikut:
Yang dimaksud rasam mushaf di sini adalah yang digunakan oleh Usman ra. dalam penulisan kata-kata dan huruf-huruf Al-Qur an. Menurut ketentuan asal, tulisan harus benar-benar sesuai dengan pengucapannya, tanpa penambahan atau pengurangan sama sekali, penggantian ataupun perubahan. Tetapi mushaf-mushaf Usman mengabaikan ketentuan asal itu, sehingga di dalamnya banyak rasam yang menyimpang dari pengucapan semestinya, hal itu karena tujuan-tujuan luhur yang segera akan kami jelaskan.
Para Ulama telah membicarakan rasam Al-Qur’an dan kata-kata yang tidak sesuai dengan pengucapannya. Sebagian Ulama menyusun karya sendiri mengenai hal ini, antara lain al-Imam Abu Amr Ad Daniy yang menyusun buku berjudul Al Muqanna’, Al Allamah Abu Abbas Al Marakisyi yang menyusun buku berjudul ‘Unwan ad dalil fi rusum Khath at Tanzil dan Al Allamah As Syaikh Muhammad bin Ahmad yang lebih populer dengan panggilan Al Mutawaliy yang menyusun Nadham-nadham berjudul Al Lu’lu’ wal Mandhum fi Dzikr jumlah min al marsum. Kemudian muncul Al Allamah As Syaikh Muhammad Khalaf Al Husaini, Guru Al Muqarri’ di kawasan mesir, yang mensyarah nadham-nadham itu dan memberikan notasi pada syarah-syarah itu dalam sebuah buku yang berjudul Mursyid Al Hairan ila ma’rifah ma yajib ittibauhu fi rasm al Qur’an.[8]  


B.     ROSM AL-QUR’AN DI JAMAN USMANI
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtd30-6cc7_01SeB6Ozd7nqrc3qf3Tnj5NSGeLO9jXNfeIxXUbhFsZACf3y_WL_JZYfWg9RiRApNRHk3ZCqK_WzvZgd0bWn9RP9G-Tr22wzKKl_67udltOj8yiE0kPhBg28I48RBOYM0M/s1600/1400+hlm+146+-Umayyah+-awal+abad+8-.JPG https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizpXGZEe1zyoJJBF39tGCJiYCDLLmRXjJs_sqodx0Ol6d9fcR6hftGSr1p4I6ZNWx0Yz9u4BU5y9yvBpRh07dwrvBcokzyDxrAZCHswuI8f4VHXCXf0v0FqcwmTmo67vQ_goZ0nXV2PGk/s1600/1400+hlm+145+-Umayyah+-awal+abad+8.JPG
 







https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiq0BpZxYKf16bDy7b9zaSWokagV6B340AK_Ln1vT4jCi3eQpwYk13-bex2UhyntS9YxuwJ-An8DZaM4Iuhyphenhyphen1_NpAagJZzJBrCJR_OZbjS2mlSqDgaPrzktmCdDXPTFRcvIV-g5ToeBOeI/s1600/QM+h-21+-5+Abad+9-10+Kufi.jpghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkxnx5mTQ7v91qgbp-aHXSvueS-3codXg4NKVbZIgQSU3V14uBMEGmtFFsHFJDrNO5NTKQl55p8sJ-5UE_MHD9q-LK7GLCUpPMw5USMcfBDp_PZjM4YKWPTNVEW3DYGvGSXFu7eRwpX-k/s1600/QM+h-21+6+Abad+9-10+Kufi-.jpgContoh tulisan Al-qur’an tampa baris pada abad ke 8





Contoh tulisan Al-qur’an tampa baris pada abad ke 9, 10
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س) dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Du’ali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an. Al-Du’ali memenuhi permintaan itu.  
a.       Penulisan Rasm Al-Quran Masa Khalifah Usman. Dan Pola Penulisan Al-Qur’an Dalam Mushaf Usmani
Bangsa Arab sebelum Islam dalam tulis menulis menggunakan khot Hijri. Setelah datang Islam dinamakan Khot Kufi.[9] Sejauh itu Bahasa dapat terpelihara dari kerusakan-kerusakan, karena ada kemampuan berbahasa yang tertanam dalam jiwa mereka.
Pada masa khalifah utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar ke berbagai kepenjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja. Pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat di sayangkan masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang di gunakannya adalah yang terbaik.

Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta untuk memudahkan membaca Al-Qur`an bagi orang-orang awam, maka Utsman bin Affan membentuk panitia yang terdiri dari 12 orang untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah Al-Qur`an. Mereka itu adalah: 1. Sa`id bin Al-As bin Sa`id bin Al-As, 2. Nafi bin Zubair bin Amr bin Naufal, 3. Zaid bin Tsabit, 4. Ubay bin ka`b, 5. Abdullah bin az-Zubair, 6. Abrur-Rahman bin Hisham, 7. Khatir bin Aflah, 8. Anas bin Malik, 9. Abdullah bin Abbas, 10. Malik bin Abi Amir, 11. Abdullah bin Umar, 12. Abdullah bin Amr bin al-As.[10] Mereka inilah yang menyusun mushaf Al-Qur`an yang kemudian di kenal dengan mushaf Utsmani, ada juga yang mengatakan bahwa panitia yang di bentuk oleh Utsman ada empat orang mereka itu adalah Zaid bin Tsabit, abdulalh bin Zubair, Sa’id bin Al-As dan Abdurrahman bin Al-Harits,[11]  
b.      Kedudukan Rasm Usmani
Kedudukan rasm Ustman dipersilisihkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi) atau hanya ijtihad para sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi Saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani: “Sesungguhnya Rasulullah Saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
Beberapa orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri oleh Rasulullah Saw.
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al Qur’an itu berasal dari Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al-Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama)
Dari beberapa penjelasan ataupun pendapat di atas maka dapat kita kelompokan sebagai berikut :
1.      Kelompok pertama (jumhur ulama) bahwa pola rasm Usmani bersifat taufiqi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat,Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi didalam penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.[12]
Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi, (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
2.      kelompok kedua berpandapat, bahwa pola penulisan didalam rasm Usmani tidak bersifat tauqifi, tetapi hanya bersifat ijtihad para sahabat. Tidak ditemukan riwayat  Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Ringkasnya, segala orang yang mengatakan bahwa wajib atas manusia menempuh rasm yang satu, wajiblah dia menegakkan hujjah untuk membuktikan kebenaran dakwahnya[13]
3.      kelompok ketiga mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm  Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’i diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an[14]
Dari ketiga pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf  Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf  Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekertaris Rasulullah SAW.  
c.       Sosialisasi Dan Distribusi Mushaf Usmani
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. Langkah-langkah penting itu adalah: [15]
1.      Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a.
2.      Membakar seluruh manuskrip Al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan Al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat.
Setelah melakukan dua langkah tersebut, ‘Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai melakukan pengiriman mushaf Al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu.[16]
Sementara Al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain disamping pendapat di atas- yang menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.[17]  
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya yang kemudian dikenal juga dengan ­al-Mushaf al-Imam. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.  Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.  
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan Al-Qur’an yang juga berarti pewarisan Al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf belaka.  
C.    PERKEMBANGAN ROSM  PASCA UTSMAN

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnMaqaJ1dp2HVvwBq8vj8SCcKP1WhaWDZhv8RtOTiqdSzMYMXTJLG1gquSShmYEUfqoV8edKw8bK4Sc6A2Qy4x_IET6BMScnhaC2oyzxWKvEAxqQyM_7NR9Bx8Eu7bZ8SGT2pjEjRbJBso/s320/c.bmpSebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf  Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf Al-Qur’an. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut.  Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.




http://faithfreedomwatch.web44.net/ffi/qrtext/manusaf2.gif
 







Contoh penulisan Al-Quran di jaman Usmani tampa baris
a.       Pemberian Harakat ( Nuqath Al-I’rab)
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab muslim ataupun non muslim. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf Al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf Al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly[18]
Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf.[19] Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka.[20] Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.
b.      Pemberian Titik Pada Huruf (Nuqath Al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf   ب (ba)   ت       )ta( )ثtsa(.Pada penulisan mushaf Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah seperti telah disebutkan untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
  pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam.  Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:[21]
a.       untuk membedakan antara د dal dan ذ dzal, ر ra’ da ز zay ص shad dan ض dhad, ط tha’ dan ظ zha’, serta ع‘ain dan غ ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b.      untuk pasangan سsin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan   يya’.
c.       untuk rangkaian huruf ج  jin,  ح ha dan  خ kha, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d.      sedangkan pasangan ف fa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.  






BAB VI
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan antara lain:
1.      Rasm Al Qur’an yaitu penulisan mushaf Al-qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya.
2.      Proses perkembangan penulisan Al-Quran dari zaman Rasullullah SAW, sampai Khalifah Usman Bin Affan keotentikan Al-Quran masih tetap terpelihara dan terjaga sebab, salah satu sekertaris penulis Al-Qur’an di Zaman Rasullah, Zaid Bin Tsabit tidak pernah lepas dari perannya sebagai penulis baik di zama Abu Bakar maupun di zaman Usman bin Affan. Ini membuktikan bahwa Allah selalu dan senatiasa memelihara Al-Qur’an.
3.      mushaf ‘Utsmany telah melalui perjalanan yang sangat panjang melintasi kurun waktu 14 abad lamanya. Berbagai inovasi kemudian dikembangkan dalam penulisan ulang dan penggandaan naskahnya. Tetapi selama itu pula, al-Qur’an yang termuat didalamnya tetap terjaga keasliannya; huruf demi huruf, kata per kata, kalimat per kalimat. Hal ini terbukti oleh perjalanan sejarah, dimana tak satu pun upaya untuk menyimpangkan isinya melainkan dengan segera tersingkap di tangan para ulama, khususnya yang menggeluti bidang al-Qur’an dan semua bidang ilmunya. Ini tentu saja tidak lepas dari metode pewarisan yang sangat unik dalam menyampaikan al-Qur’an dari kurun demi kurun. Inovasi apapun yang dikembangkan dalam penulisannya, sama sekali tidak mengubah eksistensinya sebagai Kalamullah.
4.      Dengan adanya Rasm Al-Qur’an dapat memudahkan kita dalam membaca dan memahami kandungan Al-Qur’an.
B.     SARAN
Kritik dan saran sangat kami butuhkan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami buat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Syadzali, Ahmad dan Rofii, Ahmad.Ulumul Qur’an II. Bandung: Pustaka setia. 2000
Syaikh Muhammad Abdul Adhim Az Zarqani, Manahil al Urfan fi ulum al Qur an, Tarj. Qadirun Nur, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002)
Mahmud, Adnan, dkk., UlumulQuran, Jakarta: Restu Ilahi, 2005
Latjen Pentashihan Mushaf Al-Quran Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI. Al-Quran diera Global Antara teks dan realitas. (Jakarta: Lajnan Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,2013)
Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an:Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Cet, II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1998)
Al-A’zami,M.M. The History Of Qur’anic Text. Terj. Sohirin Solihin dkk. (Jakarta: Gema Insani Press. 2005)
Anwar, Rosihan. Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia. 2006)
M.Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap  Istimbath Hukum  Dalam Al-Qur’an (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995)




[1]. Latjen Pentashihan Mushaf Al-Quran Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI. Al-Quran diera Global Antara teks dan realitas. (Jakarta: Lajnan Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,2013) cet- I, hlm.3

[2] Ibid. Hlm.3
[3] Adnan Mahmud, dkk., UlumulQuran, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), cet. ke- 1, hlm 30[4] Ibid, Hlm.30
[5] Syadzali, Ahmad dan Rofii, Ahmad.Ulumul Qur’an II. (Bandung: pustaka setia 2000) hlm. 21[6] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap  Istimbath Hukum  Dalam Al-Qur’an (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), Cet, I; hlm 2.
[7] Syadzali, Ahmad dan Rofii, Ahmad, Op.Cit. Hlm. 21.
[8]. Syaikh Muhammad Abdul Adhim Az Zarqani, Manahil al Urfan fi ulum al Qur an, Tarj. Qadirun Nur, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002) hlm. 384-385[9] Ibid. Hal. 361-362
[10] Al-A’zami,M.M. The History Of Qur’anic Text. Terj. Sohirin Solihin dkk. (Jakarta: Gema Insani Press. 2005). Hlm. 99-100
[11]. Anwar, Rosihan. Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia. 2006) hlm.50
[12]M.Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 95
[13]Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an:Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Cet, II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1998), hlm. 163-164.
[14]M.Quraish Shihab, Op.Cit, hlm. 89.
[15] Al-A’zami,M.M. Opocit. hal.105-106
[16] Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.[17] Sementara al-A’zhamy mendukung pendapat Profesor Syauqi Dhaif bahwa ada 8 eksemplar mushaf telah dibuat. Ia juga mengutip pendapat al-Ya’qubi, seorang ahli sejarah Syiah yang berpendapat bahwa jumlah eksemplarnya adalah sembilan. Lih. The History of The Qur’anic Text, opo.cit. hlm.105.

[18] Al-A’zami,M.M. Opocit. hlm.168
[19] Ibid. hlm.168
[20] Ibid. hal..156.
[21] Ibid .hal. 151-153


Tidak ada komentar:

Posting Komentar